Sabtu, 29 Juni 2013

Sekilas tentang Perikanan Kabupaten Asahan



Asahan merupakan salah satu Kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Asahan berada pada 2003’00”- 3026’00" Lintang Utara, 99001-100000 Bujur Timur dengan ketinggian 0 – 1.000 m di atas permukaan laut.

Kabupaten Asahan menempati area seluas 371.945 Ha yang terdiri dari 13 Kecamatan, 176 Desa/Kelurahan Definitif. Wilayah Kabupaten Asahan di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Batu Bara, di sebelah Selatan dengan Kabupaten Labuhan Batu dan Toba Samosir, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Simalungun  dan di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka.



Wilayah pesisir Asahan pada umumnya datar dengan kemiringan lereng 0 – 3%. Pada daerah berbukit di sebelah Barat Daya, umumnya merupakan wilayah bergelombang dengan kemiringan 3 – 8 %. Dataran pesisir Asahan merupakan dataran rendah dengan elevasi 0 – 200 m. Pesisir pantai terdapat di Timur Laut, sementara wilayah Barat Daya merupakan tempat titik-titik tertingginya, sehingga wilayah tersebut melereng dari Barat Daya ke Timur Laut.

Kabupaten Asahan menyimpan potensi yang sangat besar bagi pengembangan agribisnis dibidang pengusahaan perikanan dan kelautan,  diperkirakan Kabupaten Asahan memiliki garis pantai sepanjang ± 58 km. Namun demikian, sampai saat ini potensi yang sangat besar tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi sumber-sumber daya pesisir dan kelautan Kaupaten Asahan yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan bagi penanaman modal, antara lain:
•    Luas areal perikanan laut 57,68 x 60 mil.
•    Daerah sentra nelayan terdapat di Kecamatan Tanjung Balai, Sei Kepayang dan Air Joman.
•    Peluang-peluang pemasaran tersedia di Medan, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar.
•    Jumlah tambak sebanyak 735 unit (budidaya perikanan)
•    Daerah sentra budidaya meliputi Kecamatan Meranti, Air Joman, Tanjung Balai dan Sei   Kepayang.
•   Pemasaran: Malaysia (pemasaran ekspor).
Jumlah Produksi Perikanan Tahun 2010: Perikanan Tangkap di Laut: 83.351 Ton
Perikanan Tangkap di Perairan Umum: 958,98 Ton

Sumber: Situs resmi PemKab Asahan Provinsi Sumatera Utara.

Kamis, 06 Juni 2013

Permasalahan Sektor Perikanan di Provinsi Sumatera Utara



a.  kerusakan lingkungan
Wlayah Pesisir Timur Sumatera Utara terdiri dari 436 desa pesisir yang tersebar di 35 kecamatan dan 7 kabupaten/kota. Sebagian besar masyarakat desa pesisir menggantungkan hidupnya secara langsung di wilayah pesisir. Secara umum dapat dilihat bahwa taraf hidup mereka (khususnya nelayan) masih banyak yang hidup pra sejahtera (miskin). Eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang cukup parah. Dampak negatif dari eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan dan tidak terarah telah dapat dirasakan langsung oleh masyarakat desa pesisir.
Proses tergerusnya garis pantai (erosi/abrasi) dan bertambah dangkalnya perairan pantai (sedimentasi/pengendapan) pada dasarnya merupakan proses yang terjadi secara alami, tetapi kejadian tersebut diperparah dengan ulah manusia yang telah membabat tanaman pelindung pantai (mangrove), baik  untuk tujuan pemanfaatan nilai ekonomis kayu bakau maupun untuk konversi lahan menjadi tambak atau lokasi bangunan liar. Beberapa bagian pesisir timur Sumatera Utara terdapat garis pantai yang bertambah maju terutama di daerah yang sedimentasinya cukup tinggi. Kerusakan mangrove di pesisir timur mempunyai dampak negatif lebih jauh yang dirasakan langsung oleh masyarakat
pesisir sendiri antara lain:
·      berkurangnya hasil tangkapan ikan dan udang
·      semakin sulitnya mendapatkan kepiting bakau (scylla serrata) baik ukuran konsumsi maupun ukuran untuk benih
·      terjadi intrusi air laut ke daerah pemukiman penduduk dan areal pertanian
Selain karena kerusakan mangrove, pencemaran juga telah banyak memberi andil  pada kerusakan lingkungan pesisir, baik limbah cair maupun limbah padat yang  bersumber dari industri dan rumah tangga.
b.  masalah sumberdaya manusia
Sumberdaya manusia merupakan hal pokok yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Masalah sumberdaya manusia menyangkut aspek potensi kependudukan,  pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan rendahnya daya serap terhadap IPTEK sehingga sering menjadi kendala bagi peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi. Pendidikan yang rendah juga menyebabkan sulitnya proses peningkatan kesadaran lingkungan dalam masyarakat. Kegiatan mengelola sumberdaya pesisir membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai bidangnya, mulai dari tingkat ahli madya sampai sarjana, karena pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut membutuhkan teknologi sederhana sampai teknologi yang tinggi. Perguruan Tinggi yang bergerak di bidang Kelautan dan Perikanan di Sumatera Utara memang agakterlambat berdirinya, karena setelah terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan baru muncul perguruan tinggi yang berbau kelautan dan perikanan di beberapa kabupaten/kota.
c. masalah kelembagaan
Sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Propinsi Sumatera Utara telah terdapat bentuk-bentuk hukum dan peraturan yang mendukung yaitu dalam bentuk Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Di wilayah pesisir juga terdapat kelembagaan yang mengelola sumberdaya pesisir dan lautan (diluar lembaga pemerintahan) yaitu: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Profesi (HNSI, MPN, Asosiasi Nelayan, Kelompok Nelayan, Kelompok Pembudidaya), Koperasi, Tangkahan (TPI Swasta), dan sebagainya.
Beberapa kelemahan dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan  laut antara lain:
Pembangunan wilayah pesisir belum menjadi  prioritas bagi lembaga pemerintahan dan LSM sehingga pembangunan wilayah pesisir masih tertinggal dibanding wilayah lain.
·      Kurangnya koordinasi dari instansi terkait dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut .
·      Masih lemahnya pemahaman tentang hukum lingkungan, baik di tingkat aparatur  maupun masyarakat.
·      Pengusulan program pengelolaan pesisir masih ego-sektoral.
·      Koordinasi dan pengawasan dalam penerbitan kegiatan perikanan belum berjalan dengan baik.
·      Mekanisme perencanaan belum dilaksanakan secara bottom-up.
·      Sistem pembinaan profesi masyarakat pesisir belum tepat.
·      Data yang ditampilkan oleh instansi terkait sehubungan dengan sumberdaya pesisir belum akurat.